Mencemaskan Degradasi Lingkungan

PEMENANG nobel ekonomi tahun 2001, Joseph E Stiglitz dalam buku ‘dekade keserakahan, era 90 an dan awal mula petaka ekonomi dunia’, mengatakan kita perlu memperhatikan kesetaraan dan keadilan tak hanya bagi generasi yang hidup masa kini, tapi juga lintas generasi. Pertumbuhan ekonomi saat ini jangan sampai membebani kesejahteraan generasi mendatang. Itulahsalah satu alasan mengapa perlu mencemaskan degradasi lingkungan hidup.
Seluruh naskah dilansir oleh: Abdul Saban
Pomalaa, Kabupaten Kolaka—seluas 333,82 hektar– menjadi incaran perusahaan-perusahaan tambang sejak tahun 1909, ketika kali pertama bijih nikel—logam yang terbentuk dari proses alam– berkadar tinggi dinyatakan ada dalam perut Pomalaa. Sejak itu, eksplorasi nikel dimulai tahun 1934 dan produksi dimulai tahun 1939. Namun, geologi lembar Kolaka yang dikeluarkan oleh Pusat penelitian dan pengembangan Geologi menunjukkan Pomalaa tak hanya menyimpang bijih nikel, tapi juga magnesit, sejenis batuan beku yang sering digunakan untuk bahan bangunan dan industri.
Bertahun-tahun setelahnya, hanya PT Antam Tbk, perusahaan milik negara yang bertahan di Pomalaa dengan konsensi seluas 8,314 hektar. PT Inco juga masuk dengan kontrak karya seluas 63,506 hektar (meliputi Pomalaa, Kolaka dan Lasusua). Tahun 2007, 10 perusahaan masing-masing PT Pertambangan Bumi Indonesia, PT Rinjani Angkawijaya Lestari, PT Putra Mekongga Sejahtera, PT Dharma Bumi Kendari, PT Toshida Indonesia, PT Cinta Jaya, PT Dharma Rosadi Internasional, PT Citra Arya Sentra Hutama, PT Bola Dunia Mandiri dan Perusahaan Daerah memperoleh izin kelola tambang dari Pemerintah Daerah Kolaka.
Berbagai usaha tambang itu menempatkan Kolaka sebagai kabupaten dengan pendapatan ekonomi terbesar dibanding kabupaten lain. Tapi, bila, pemerintah Kabupaten Kolaka menyebut usaha tambang sebagai usaha penopang perekonomian negara maka Joseph E Stigitlitz –pemenang nobel ekonomi tahun 2001—menyebutnya sebagai pertumbuhan ekonomi yang membebani kesejahteraan generasi mendatang. Ini karena apa yang telah dilakukan pada hari ini tak akan memberi citra sama tentang alam ini, yang bisa dinikmati tahun-tahun mendatang.
“Tambang menimbulkan perubahan bentang alam. Karena itu, sebesar apapun usaha reklamasi maupun perbaikan lingkungan yang diperbaiki, tak akan pernah memperbaikinya,” kata Boorliant Satranaya, senior supervisor mine reclamation PT. Inco, Tbk. Perusahaan ini mengeluarkan biaya Rp 50-60 miliar per tahun untuk mereklamasi lahan pasca eksplorasi di wilayah Soroako. Ia hendak mengatakan, dengan biaya sebesar itu, PT Inco menunjukkan tanggungjawab yang tak main-main. Berarti pula, bila PT Inco telah beroperasi secara penuh di Pomalaa, maka biaya yang dikeluarkan untuk reklamasi akan mungkin sama besarnya.
PT Aneka Tambang, melalui Imron Rosidin juga mengatakan hal yang sama. “Kami lakukan berbagai upaya untuk memperbaiki lingkungan pasca eksplorasi,” katanya. Tapi semua itu tak pernah cukup, dan seperti kata Joseph Stiglitz, kita perlu mencemaskan perubahan bentang alam yang terjadi pasca tambang dan upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan tambang di Kolaka.
Menyelipkan Banyak Citra
Citra kota tambang muncul dari raungan sirene yang mengingatkan dump truck akan lewat dari kompleks PT Antam, puluhan bahkan ratusan pekerja dengan helm pengaman dan sepatu boot yang praktis nyaris sama, meski mereka mewakili perusahaan tambang yang berbeda serta kendaraan jip berkecepatan tinggi meliuk-liuk di jalan produksi.
Citra kekayaan Pomalaa dikemukakan oleh Sofyan Iskandar, dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Menurutnya, bijih nikel di Pomalaa masih bisa dikeruk hingga 50 tahun ke depan. “Kadarnya tinggi sekali,” katanya takjub. Dan yang terjadi, ramai-ramai perusahaan tambang terutama KP mengirim ore–tanah bercampur bijih nikel ke luarnegeri. “Seperti mengirim bahan galian C saja,” kritik Siti Maemumah, Ketua advokasi jaringan tambang Indonesia.
Citra itu juga muncul dari teriakan pemrotes akan kebijakan Bupati Kolaka, Bukhari Matta –yang memberikan izin pengelolaan tambang bagi KP-KP. Mereka mempertanyakan siapakah kelak bertanggungjawab terhadap perbaikan lingkungan pasca KP-KP itu selesai?
Namun citra akan efek tambang terlihat pada warga yang menetap di sekitar usaha tambang. Desa kecil mereka, Tambea seperti dikepung. Laut depan desa kini berwarna coklat keruh. Erosi terjadi tiap musim hujan, mengalirkan tanah yang kehilangan ikatan dengan pohon ke pesisir pantai. “Lahan budidaya teripang kami hancur karena timbunan tanah yang mencemari pantai dan sekitanya,” keluhSudirman.”Tak tahu harus kerja apa lagi,” katanya. Ia memperoleh ganti rugi Rp 2.000 per meter. Sudirman adalah satu dari 20 nelayan budidaya taripan di areal 50 Ha. Total kerugian bagi nelayan saat itu adalah ; matinya 300.000 ekor taripang.
Pada tanggal 6 Mei 2005 lalu, petani teripang di Desa Tambea, Pomalaa, Kabupaten Kolaka, mengirim surat kepada PT. Antam sehubungan dengan kasus kematian teripang budidaya mereka.
Tim Antam lalu mengecek di pantai Tambea dan menemukan fakta tumpukan tanah hasil pengerukan penambangan tergerus air hujan yang mengakibatkan terjadinya pelumpuran di areal budidaya teripang, yang harus dilakukan adalah membangun cek dam atau tanggul di pinggir pantai sepanjang kurang Iebih 5 kilometer.
Hasil identifikasi lain dilakukan tim satuan petugas pengawas perikanan Kendari dan Kasubdit Wasdap pencemaran perairan menyimpulkan, telah terjadi limpasan lumpur yang berasal dari bekas penambangan, berupa suspended solid yang mengeruhkan areal budidaya teripang dan mematikan organisme budidaya laut. Akibatnya kadar oksigen terlarut air laut menurun (DO =Desolved Oxygen).
“Sekarang, bayangkan apa yang akan terjadi pada perairan Tambea, tak hanya Antam yang ada di sini, tapi juga KP-KP. Kalau ada masalah lagi, siapa yang akan bertanggungjawab?” tanya Sudirman lagi.
Citra lain adalah tingginya pengidap infeksi saluran pernapasan dan alergi kulit di Pomalaa. Meski tak relevan karena minimnya penelitian soal ini, tapi dalam 2007, Puskesmas Dawi-dawi mencatat kenaikan pasien dengan penyakit sama. “Tapi sekali lagi saya katakan, perlu penelitian lebih lanjut apakah ini karena dampak tambang atau tidak,” kata Muhammad Rafi, dokter puskesmas itu.
No More Tambang
Kasus tambang-tambang di Indonesia mengajarkan satu hal ; hati-hati. Seringkali kenaikan ekonomi daerah tak relevan dengan dampak yang ditimbulkan. Deputi Pengendalian Dampak Lingkungan dan Sumber Institusi Kementerian Lingkungan Hidup, Isa Karmisa mengatakan, hasil penelitian JICA, badan peneliti Jepang yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup 1991-1998, menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita hipertensi akibat pencemaran timbal (Pb).
Penderita hipertensi ini disebabkan keracunan Pb yang ditemukan di dalam darah si penderita. Penyakit hipertensi ini bisa berkomplikasi dengan jantung, ginjal maupun gula darah sehingga menyebabkan penderita mengalami diabetes hipertensi. Korbannya bisa siapa saja, polisi, penjaga pintu tol, penjaja asongan maupun sopir merupakan orang yang berpotensi terkena hipertensi karena timbal ini, sebab mereka sering berada di jalan.
Sedangkan wilayah pesisir merupakan pertemuan daratan dan laut yang rentan pencemaran. ”Karena banyak industri yang membuang limbah di pesisir baik limbah kimia, fisika atau biologi. Dampaknya sudah pasti selain gangguan terhadap kelestarian lingkungan, juga keselamatan dan jaminan kesehatan konsumen tidak ada.
Departemen Kelautan dan Perikanan juga menunjukkan, pencemaran merkuri dan arsen di Teluk Buyat menyebabkan ikan tercemar merkuri. Hasil penelitian kadar merkuri di hati ikan 9,1 mg/g. Merkuri dari tambang terbuang setiap kali proses 14,5%, sedangkan gas sebesar 2,5%. Kadar pada sedimen dan ikan mencapai 0,116-13,87 ppm. Paling berbahaya lagi jika limbah dalam bentuk senyawa organik (metal merkuri) larut dalam air, lemak dan dapat terakumulasi pada biota air termasuk ikan. Metil merkuri berbahaya karena diserap tubuh hingga 95%. Metil merkuri ini bisa tertimbun dalam ginjal, otak, janin, otot, dan hati manusia.
Siti Maemunah dari Koordinator Jaringan Advokasi Tambang mengatakan, hal lain yang perlu disimak adalah pertambangan skala kecil ataupun besar selalu membutuhkan lahan luas serta air dalam jumlah banyak. Karenanya, pemerintah berkewajiban menimbang sebelum izin pengelolaan tambang dilakukan. “Banyak sektor lain yang berpotensi sama dan tak merusak bisa dilakukan. Misalnya, mengolah sektor perikanan dan kelautan,” ujarnya. Jadi cukuplah tambang yang ada pada hari ini, jangan ditambah lagi.
Politis dan Mengundang Tanya
Satu pertanyaan penting ; kepada siapa perusahaan-perusahaan tambang di Pomalaa mendedikasikan keuntungannya? Negara ini? Pomalaa atau perusahaan? Bila untuk negara ini, siapa yang menikmatinya? “Tak sejumputpun keuntungan tanah Mekongga—Pomalaa– tidak kami bagi keuntungannya pada negara ini, termasuk Pomalaa,” kata Dodi Martimbang, Deputy Senior Vice Presiden Human Resources and General Affairs Antam.
PT Aneka Tambang bersandarkan pada aturan kontrak karya, dimana pembayaran pajak dan sebagainya disetor ke kas negara. Bukan kas daerah. Ketimpangan muncul ketika pihak Kolaka merasa wajib mendapatkan hak lebih karena Pomalaa berkontribusi besar dalam peningkatan keuntungan nikel.
“Kenyataannya, kami memperoleh keuntungan lebih banyak dari KP-KP dibanding PT Antam,” kata Bukhari Matta, Bupati Kolaka.
Ketika izin-izin KP dikeluarkan, Bukhari mendapat keuntungan sekaligus protes. Keuntungan berasal dari banyaknya penyerapan tenaga kerja yang tak bisa lolos di PT Antam. “Saya sudah kerja di KP PT Rositadi Mandiri sebagai sekurity sekarang,” kata Azis, pria 4 anak. Ia bukan satu-satunya orang yang gigit jari ketika tahu minus lowongan kerja di PT Antam.
Sedang protes berasal dari kalangan aktivitis yang mempertanyakan izin kelola tambang di wilayah konservasi antara lain Taman Wisata Alam laut (TWAL) Pulau Padamarang (Nikel) seluas 3.300 ha, pulau Lambasina besar seluas 280 ha, pulau Lambasina kecil seluas80 ha, pulau Lemo seluas 30 ha, pulau Kukusan seluas 110 ha dan pulau Buaya seluas 224,5 ha. Lainnya, pengajuan izin untuk kelola tambang nikel di taman wisata alam (TWA) Mangolo (Onix) seluas 200, taman wisata nasional (TN) Rawa Aopa Watumohai (Nikel) di desa Iwoikondo Kecamatan Tirawuta dan Desa Wunggoloko Kecamatan Ladongi seluas 800 ha dan di kawasan pegunungan Mendoke Kecamatan Lambandia seluas 1641 ha.
Protes ini mendapat dukungan dari Menteri Kehutanan MS Kaban pada bulan Agustus 2007. Hasil telaah seperti dilansir Kendari Ekspres menunjukkan seluruh kawasan itu berada pada kawasan hutan konservasi. Intinya tak boleh ada kegiatan tambang di pulau kecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulau Hoga, Bukan Sekadar Pulau