Nasib Kayu Bersertifikasi di Konawe selatan, Menunggu Kabar Baik Tiba

Dalam usianya yang belum genap 4 tahun saja, KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari) kini tampil sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat yang mandiri di Konawe Selatan. KHJL menerapkan program kayu bersertifikasi Forest Stewarship Council (FSC) pada seluruh anggotanya dan memberi dampak baik dari segi pasar kayu maupun pengelolaan hutan. Alhasil, anggota KHJL tak hanya memahami prinsip pengelolaan hutan lestari tapi juga bisa mengolah tanaman jatinya hingga memenuhi syarat ekolabel.
KHJL rupanya merupakan salah satu dari lima usaha perkayuan di Indonesia yang memperoleh sertifikat ekolabel, di mana keempat perusahaan lainnya merupakan perusahaan berskala besar, yakni PT Diamond Raya Timber, PT Intracawood Manufacturing, PT Sumalindo Tbk, dan PT Erna Djuliawati. KHJL ternyata merupakan satu-satunya koperasi di Asia Tenggara yang berhasil memperoleh sertifikat ekolabel, dan merupakan satu-satunya koperasi di dunia yang berhasil dalam pengelolaan hutan milik rakyat.
Oleh; Abdul Saban ------------------------------
Tiga bulan pertama setiap anggota Koperasi Hutan Jaya Lestari menerima pendapatan sebesar Rp 1.445.000 (US$ 160) untuk setiap meter kubik kayu yang mereka jual. Jumlah ini berarti penghasilan empat kali lebih banyak dari yang mereka peroleh sebelumnya, yaitu Rp 400.000 (US$ 40) per meter kubik bila kayu mereka dijual kepada cukong atau pengusaha umum lainnya. Selain itu, di akhir tahun tersebut koperasi memberikan dividen untuk setiap anggota dengan jumlah sekitar Rp 536.717 (US$ 60) dari keuntungan yang telah diperoleh koperasi mereka.
Program sertifikasi memberi keuntungan berlipat bagi KHJL dan anggotanya. Bayangkan saja, bila harga kayu di pasaran lokal dan dunia meninggi, permintaan terhadap kayu-kayu bersertifikasi dari Konawe Selatan juga naik. Pada tahun 2006 saja, harga kayu per meter kubik naik dari Rp. 600.000/m3 menjadi Rp. 5.300.000/m3. Aliran dana dari luar daerah maupun luar negeri seolah tak terbendung, mengalir ke daerah Konawe Selatan. Kini masyarakat sebagai anggota-anggota koperasi dapat merancang dana sosial untuk pendidikan dan kesehatan bagi.
Anggota KHJL kompak dan terorganisasi dengan baik. Mereka mampu mengelola sumber daya alam lain selain kayu dengan cukup baik. Kini KHJL kini juga dikenal sebagai penghasil ternak, tanaman obat-obatan, dan mampu menyediakan sumber bibit jati.
Anggota KHJL juga bernapas lega ketika Presiden Yudhoyono meluncurkan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang relevan dengan tujuan besar KHJL. Program itu dinilai berpihak ke warga. “Warga boleh memelihara hutan sebagai sumberdaya alam,” kata Direktur JAUH, Abdul Halik.
Pemerintah Indonesia komitmen akan mengalokasikan 60 persen atau sekitar 5,4 juta ha dari 9 juta ha lahan hutan di Indonesia untuk jadi hutan tanaman rakyat. Lahan yang dituju berdasarkan peraturan tersebut adalah lahan kritis, kosong dan semak belukar.
HTR, Tujuan Besar, Implementasi Minus
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan program Pemerintah Republik Indonesia yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui pemberian kemudahan akses ke dalam berbagai macam sumber daya yang dikelola oleh Departemen Kehutanan (Dephut) seperti akses lahan hutan, akses dana yang dikelola Dephut, akses pasar perdagangan kayu, dan akses lainnya.
Hutan Tanaman Rakyat pada hakekatnya untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan investasi melalui hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun secara proporsional antar pelaku ekonomi (pro-growth) dengan kelompok masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda revitalisasi Pertanian, yaitu kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam Perikanan dan Kehutanan. Kebijakan HTR ini sekaligus merupakan rangka yang menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Konsep pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman melaui HTR, telah disusun oleh Departemen Kehutanan dari proses pembelajaran atas program maupun proyek Pemberdayaan Masyakat yang selama ini ada, misalnya proyek-proyek kerjasama teknik luar negeri seperti Social Forestry, Multistakeholders Forestry Programme Dephut-DFID dan beberapa proyek pemberdayaan masyarakat yang ada di Departemen Kehutanan, sehingga diharapkan dapat memberi kerangka filosofis atas pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mengatasi kemiskinan dengan pemberian akses yang lebih luas melalui aspek hukum (legalitas), lembaga keuangan dan pasar.
Selain kerangka filosofis tersebut, diperoleh pula prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, yaitu : 1. Organisasi yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan kebutuhannya. sehingga hutan diberdayakan oleh masyarakat sendiri bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat. 2. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab. 3. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar.
Ketiga prinsip di atas dikonsepkan dan diimplementasikan dalam pembangunan HTR dimana masyarakat akan menjadi ”owner” IUPHHK-HT dan sebagai pelaku langsung. Rencananya pola pengembangan HTR akan mengikuti 3 pola, yaitu (1) Masyarakat Setempat membentuk kelompok, Pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHKHTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/Pemda. (2) Pola Kemitraan dengan HTI BUMN/S, Masyarakat setempat membentuk kelompok diajukan oleh Bupati ke Menhut. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK-HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar. dan (3) Pola Developer BUMN/S sebagai developer membangun hutan tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai perjanjian kredit.
Dalam ketentuan umum PP No. 06/2007, Departemen Kehutanan terutama Revitalisasi Sektor kehutanan dan Pemberdayaan Ekonomi memberikan batasan yang tegas tentang HTR kepada masyarakat setempat, sehingga sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada Hutan pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan Kemasyarakatan melalui HKM dan Hutan Rakyat dalam mensejahterakan masyarakat yang diperluas dan dikembangkan pada areal kawasan hutan produksi untuk menciptakan lapangan kerja. Hal ini memungkinkan dapat dikembangkan pada hutan konservasi yang sejalan dengan wacana reforma agraria, (Kecuali Cagar Alam dan zona inti Taman Nasional).
HTR, Memberikan Akses Positif ke Warga
Menurut Suhendro A. Bashori, Kepala seksi Perencanaan pada Dishut Sultra, Departemen Kehutanan merespon upaya pemanfaatan kawasan hutan produksi, dan hutan lindung dengan memberikan akses lebih kepada masyarakat dalam hutan rakyat yang jelas-jelas terbangun di kawasan pengelolaan sumberdaya hutan, rencana pembangunan negara atau yang berada pada kawasan hutan yang telah dipayungi oleh produk hukum, peraturan pada tanah yang dibebani hak atas tanah dalam melindungi dan memberikan akses pasar kepada HTR yang sangat penting bagi masyarakat, sehingga hal ini dapat diwujudkan melalui kebijakan Pemerintah daerah untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari.
Pemberian status hukum yang luas ke masyarakat pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan hutan tanaman mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat kekeliruan dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian kayu, kebakaran dan dampak negatif euphoria otonomi daerah khususnya dalam kurun waktu periode 1999-2004.
Hendro juga mengatakan, kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat ini terkait dengan kebijakan Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proposional antar pelaku ekonomi (pro-growth).
Disadari bahwa untuk kegiatan yang besar ini tidak mungkin terwujud dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan, namun sudah saatnya sekarang untuk menegaskan bahwa jajaran Departemen Kehutanan akan mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera dan mempersiapkan HTR ini dengan baik dan betul-betul pengelolaan hutan lestari melalui pembangunan HTR mengenai sasaran untuk mengangkat derajat masyarakat yang dianggap sebagai sistem inovasi untuk memperbaiki sekitar hutan dalam berpartisipasi membangun hutan dan hasil dan kinerja pemberdayaan masyarakat yang selama memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Hendro menyarankan, Bupati Konawe Selatan bersikap arif dengan mengakses semua kepentingan masyarakatnya. Ia menyarankan, untuk menghindari tumpangtindih lahan perlu dilihat siapa yang lebih dulu memiliki lahan maupun mengajukan izin atas lahan tersebut. “Bisa saja membuka peluang pada investor tapi jangan sampai mengorbankan kepentingan warga sendiri,” kata Hendro. “Istilahnya jangan jadi pembantu di rumah sendirilah.”
Ponijo, Kini Punya Deposit Masa Depan
Punya ratusan tanaman jati di tanah sendiri dan siap panen? Mm pasti menyenangkan. Dan itu yang dirasakan Ponijo (55 th) hari ini.Petani asal Desa Mekar Jaya, Kecamatan Palangga, Konawe Selatan ini kini tengah menunggu kapan siap menuai hasil dari ratusan tanaman jati yang berjejer rapi di lahan seluas 6 hektar miliknya. Jati berusia 13 tahun tersebut, dulunya ditanam hanya karena hobi. Ponijo samasekali tak berpikir harga jati akan sedemikian bagusnya kelak.
Belasan tahun kemudian, harga jati benar-benar melambung. Terutama harga yang ditawarkan oleh KHJL bagi petani-petani yang bersedia melakukan sertifikasi kayu dan mengikuti aturan main ‘tidak tebang pilih’. KHJL menawarkan harga Rp 1 hingga 1,5 juta per meter kubik. “Kalau kayu tersebut saya jual kepada pengusaha atau cukong lainnya, harganya tidak sampai segede itu,” kata Ponijo.Ditaksir kayu milik Ponijo bernilai 2 – 3 miliar, bayangkan!
Hidup sebagai petani agraris banyak tantangannya, hidup tergantung dari musim yang sering berubah-ubah. Di bawah tekanan hidup, seringkali sejumlah warga mudah dimanfaatkan oknum tertentu untuk melakukan pembalakan kayu . Situasi tersebut hanya bisa diubah dengan membuka peluang lapangan kerja dan pasar yang menguntungkan bagi petani, dan Jaringan Untuk Hutan (JAUH) Sulawesi Tenggara melakukannya dengan menjadi pendamping bagi petani-petani jati di Konawe Selatan. Hasilnya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulau Hoga, Bukan Sekadar Pulau

Mencemaskan Degradasi Lingkungan