DAS Konaweha Akan Mengalir Sampai Kapan?

Dulunya,desa di bagian utara, sekitar 60 kilo meter dari Wanggudu, Ibukota Konawe Utara ibarat “surga”. “Penduduknya belum banyak, sumber kehidupan berlimpah,” kata Sitti Aminah (40 th). Ia mengisahkan situasi desa itu sampai akhir tahun 1980-an. “Di sini banyak buah nangka, sirsak dan lain-lain. Dulu, juga banyak berbagai jenis rotan yang hidup di pinggir sungai ini,” lanjutnya, sambil menunjuk pesisir sungai Lalindu. “Sekarang jalan berkilo-kilopun, tak dapat dijumpai lagi rotan itu. Mungkin masih ada di sekitar hulu sungai ini, tapi masuk dalam kawasan hutan lindung” sambungnya.
Hutan sudah ditebangi, ada yang jadi kebun ada yang ditelantarkan, macam-macamlah,” sambung Aminah, warga yang tinggal di pesisir sungai Lalindu, desa Sambandete, kecamatan Asera-Konawe Utara (Konut). Orang cenderung menengok ke belakang menemui hal-hal yang menyenangkan. Kalau dihadirkan lagi, mampu membuat orang tersenyum sendirian, sebelum secara perlahan menjadi getir ketika kembali menemui kenyataan. Saat ini, air sungai Lalindu, yang merupakan bagian tengah DAS Konaweha berwarna coklat, mengalir lamban karena beratnya beban sedimentasi yang dibawa dari bagian hulu. Jangan membayangkan ikan sungai yang lezat, seperti ikan gabus (penduduk setempat menyebutnya ikan Bou), Borubi dan ikan Lele.
“Kalau mau makan ikan, beli di pasar. Ikan dari Molawe, sebuah kecamatan di Konut yang berada di pinggir laut,” sambung Harnia, yang duduk di sungai sambil melihat kabut yang menyelimuti pegunungan. Sungai Lalindu adalah salah satu sub DAS Konaweeha yang melewati kecamatan Langkikima – Wiwirano Asera dan Lasolo.
Menurut keterangan Harnia, kedalaman sungai ini berkisar 10 meter. Kalau musim kemarau, air di sungai tersebut menyusut sampai 7 meter dari dasar sungai. Meski tak sampai kekurangan air, namun mereka cukup sulit untuk mendapatkan air bersih, karena air sungai itu keruh mengandung lumpur. Di samping itu, sejak tahun 1998 lalu, banjir besar sering melibas desa ini. “sebelumnya, banjir hanya terjadi lima tahun sekali,” lanjut Harnia. Pasca 1998 lalu, hampir setiap tahunnya banjir melanda desa ini. “dalam setahun bisa dua sampai tiga kali banjir,” katanya.
Adanya konversi hutan untuk pemukiman, perkebunan penduduk dan perusahaan sawit di pinggir sungai ini menjadi salah satu faktor degradasi dan erosi tanah di pesisir sungai. Salah satu tokoh masyarakat di kecamatan Asera, Haji Muhamad Djamal menilai, konversi hutan di pinggir sungai itu awalnya dilakukan warga sendiri. dilanjutkan dengan pembukaan hutan dengan model HPH PT. Intisixta, yang terakhir saat ini adalah pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan pertambangan nikel oleh beberapa perusahaan.
Djamal mengisahkan, sejak penjajahan Belanda, kemudian pendudukan Jepang di Indonesia, di daerah ini sudah terdapat penduduk yang kebanyakan bermukim di bibir sungai. “Karena fasilitas kebutuhan hidup banyak tersedia di pinggir sungai,” katanya.
Selain itu, di daerah pinggir sungai ini kebanyakan menjadi incaran para saudagar yang ingin berdagang rampah-rempah dan kebutuhan rumah tangga lainnya. “jadi jangan heran, kalau penduduk di pinggir sungai sudah maju sejak dahulu,” ujar Djamal.
Menurut Djamal, penduduk asli daerah ini berasal dari Konawe. Selanjutnya membuka pemukiman di daerah Asera, Konawe Utara. Sejak awal, masyarakat ini sudah berdiam di pinggir sungai dengan mendirikan rumah panggung, untuk menghindari banjir. Namun karena terdesak oleh pertumbuhan populasi, masyarakat ini kemudian mulai membuka lahan di pegunungan untuk dijadikan pemukiman dan pertanian. Namun proses pembukaan lahan ini kebanyakan dilakukan dengan membakar hutan. Karena proses pembukaan lahan ini tidak dilakukan dengan tindakan pelestarian lingkungan, sehingga vegetasi hutan makin untuk menyokong tata hidrologi dan pengendali banjir makin berkurang, akibatnya luas bibir sungai yang mereka diami semakin meluas oleh erosi dan dangkal akibat sedimentasi.
Selain itu, sampai saat ini petani di daerah ini belum menerapkan pertanian yang berkelanjutan. Untuk mendapatkan hasil panen yang banyak, mereka lebih cendrung melakukan pembukaan sawah yang banyak. Menurut Djamal, ini disebabkan oleh unsur hara tanah di lahan itu, semakin hari semakin menipis karena tidak disertai dengan teknik irigasi yang memadai.
“Irigasi yang ada saat ini adalah buatan swadaya para petani,” ujar Djmal. Pencemaran yang bersumber dari lahan pertanian utamanya disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan atau kurang tepat dan tingginya tingkat kehilangan dari input pertanian tersebut. Jika dikelola dengan baik, sebenarnya pertanian mempunyai kemampuan untuk menanggulangi pencemaran, fungsi ini merupakan salah satu aspek dari multifungsi pertanian yang belum banyak disadari dan dimanfaatkan secara optimum.
Menurut Kantan Trisno Aji, penggiat lingkungan LSM Yascita, mestinya sawah bisa menjadi peredam sedimentasi bila dikelola dengan baik. Sawah yang dapat berfungsi sebagai filter sedimen, merupakan salah satu contoh bentuk usaha tani yang dapat berperan dalam penanggulangan sedimentasi di DAS. Pencemaran yang bersumber dari lahan kering dapat dilakukan dengan menekan besarnya erosi dan aliran permukaan yang menjadi agen utama pengangkutan sedimentasi dari daerah hulu ke daerah hilir. Fungsi dari lahan pertanian (sawah maupun lahan kering) dalam penanggulangan pencemaran dapat lebih ditingkatkan dengan mengoptimalkan fungsinya sebagai tempat pendaurulangan sampah organik.
Oleh: Abdul Saban
Diperlukan Kesungguhan Untuk Mewujudkan Keterjaminan Air di Sulawesi Tenggara
DIAPIT gunung, lembah dan sungai tak berarti Sulawesi Tenggara akan terhindar dari krisis air. Kondisi sejumlah wilayah menunjukkan ketika musim kemarau melanda, pasokan air akan menyusut dan sebaliknya bila musim hujan tiba sejumlah wilayah akan digenangi air dan menyebabkan kerugian dalam jumlah besar. Tiap tahun, air bahkan mengalami pengurangan debit.
Beberapa faktor menjadi penyebab mengapa pasokan air, antara lain kemampuan lahan terhadap erosi, banjir, tanah longsor dan kekeriangan. Iklim dan curah hujan yang bisa menimbulkan daya rusak terhadap hamparan lahan dan aktivitas manusia terhadap alamnya,baik berupa penggunaan lahan maupun hutan yang melampui daya dukung wilayahnya. Aktivitas tersebut seringkali tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air hingga merusak ekosistem secara keseluruhan.
Di Sulawesi Tenggara, aliran air dipasok oleh 14 Daerah Aliran Sungai atau DAS (lihat tabel). Data BPDAS Sampara menunjukkan keseluruhan DAS prioritas tersebut mengalami ancaman kekeringan apabila aktivitas manusia yang melampaui daya dukung alam tak segera dihentikan.
Contoh nyata dapat dilihat pada DAS Konaweha se-luas 715,067,81 hektar yang menjadi sumber kehidupan warga Kolaka Utara, Kolaka, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Kota Kendari. DAS tersebut kini mengalami sedimentasi sebesar 295,92 ton per tahun yang dipicu oleh penggundulan hutan dan pembangunan yang tak terencana.
Kerusakan DAS otomatis akan menyebabkan ter-gganggunya kualitas hidup warga yang tergantung pada air tersebut. Karena itu diperlukan pendekatan sistem yang terencana untuk menganalisis model hidrologi, pengelolaan tanah dan kebijakan daerah serta pengorganisasian yang melibatkan warga pengguna air agar pengelolaan DAS bisa padu padan dengan satu tujuan menjaminkan ketersediaan air untuk warga Sulawesi Tenggara. Pengelolaan DAS yang memperhitungkan berbagai aspek akan membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi , sosial dan ekologi.
Multi Fungsi Pertanian
Salah satu contoh multifungsi pertanian dalam hubungannya dengan aspek lingkungan di antaranya adalah dampak dari penerapan teknik konservasi tanah terhadap lingkungan. Pengurangan sedimentasi di daerah hilir dari hasil penerapan konservasi pada areal pertanian di daerah hulu dapat digolongkan sebagai multifungsi, karena pengurangan sedimentasi memberikan manfaat bagi pengguna air di sepanjang aliran sungai, khususnya di bagian hilir.
Degradasi lahan pertanian yang banyak terjadi sebagai akibat pola penggunaan lahan yang kurang tepat, dapat berakibat pada penurunan kuantitas dan kualitas multifungsi pertanian, sehingga multifungsi pertanian tidak dapat dinikmati secara optimal. Abdurachman (2006) mengemukakan bahwa salah satu strategi utama untuk mempertahankan multi-fungsi pertanian adalah dengan meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem yang berpotensi besar untuk mengalami polusi atau pencemaran. Pencemaran dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kawasan ini, yaitu: kegiatan pertanian, transportasi, industri, rumah tangga, dan lain sebagainya.
Komponen utama dari DAS yang berpotensi untuk tercemar adalah badan air dan tanah, yang selanjutnya akan berpengaruh pula terhadap kualitas pertanian dan mahluk hidup yang berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada dalam sistem daerah aliran sungai atau daerah yang dipengaruhinya. Komponen sedimentasi di DAS dapat berupa (1) point source (PS) pollutans, yakni sumber-sumber polutan yang dapat ditentukan dengan jelas dari mana (titik atau daerah) asalnya, misalnya polutan yang dihasilkan dari kegiatan industri dan pertambangan; (2) non point source (NPS) pollutans yakni sumber-sumber polutan yang sulit untuk dikenali secara pasti dari mana (titik / daerah) polutan itu berasal.
Penanggulangan sedimentasi dan erosi dapat dilakukan dengan perbaikan prosedur pengolahan limbah yang akan dialirkan ke sungai atau badan air lainnya (IPAL).Kegiatan pertanian seringkali dijadikan contoh sebagai penghasil utama sedimen, karena kegiatan ini umumnya dilakukan dengan pembukaan lahan besar-besaran.
Paradigma Sumber Daya Air
Hampir semua masyarakat Konawe Utara tak berpikir akan kekurangan sumber daya air. “Air di sungai masih banyak,” kata Syarifuddin, Kepala Desa Sambandete, kecamatan Asera. Saat ini, suplai air bersih dari gunung masih banyak. Bahkan, banyak warga yang tidak mampu menampung air di rumahnya, saking banyaknya air yang tersedia. Dengan uang Rp. 2000, perbulannya, untuk gaji penjaganya, air sudah mengalir sampai di kamar mandi, milik penduduk. “Kran air tidak pernah kami kunci, takut pipanya jebol,” kata Mustafa, warga di desa Lalolora. Air dibiarkan meluap begitu saja, lanjutnya.
Namun Ir. A.A.G. Raka, MS,Kepala BPDAS Sampara memprediksi , itu tak akan berlangsung lama. Belajar dari berbagai kasuistik yang muncul dalam kawasan DAS di Indonesia, menurutnya, semakin banyak aktivitas manusia di kawasan DAS, akan mempercepat penurunan fungsi penyangga tata air di daerah itu. Aktivitas ini dapat berupa pembukaan lahan dan penebangan hutan. Factor utama yang mendasari hal itu adalah desakan kebutuhan ekonomi. Semakin besar potensi sumber daya alam dalam kawasan DAS, maka indikasi pengolahannyapun semakin besar. “yang menjadi masalah adalah, pengolahan sumber daya itu tidak dibarengi dengan tekhnik pelestarian dan keberlanjutan sumber daya tersebut,” ujar Raka.
Menurut Raka, harus ada sebuah paradigma baru untuk mengantisipasi krisis sumeber daya air dengan lebih berpihak pada masyarakat. Pembangunan di Indonesia harus berbasis pada kepentingan, pengetahuan, dan cara-cara masyarakat lokal yang dimiliki secara tradisional dalam mengelola lingkungan. Untuk kasus Sultra, paradigma ini boleh dikatakan sebagai kemandirian lokal, yakni kemandirian yang dimiliki oleh suatu entitas tertentu tanpa memandang suku, agama, atau ras.
Jadi, melibatkan secara penuh masyarakat lokal dalam proses pembangunan daerah dan masyarakatnya. Pertimbangannya, selain karena pengetahuan turun-temurun, juga karena tanggung jawab lebih besar bagi masyarakat lokal untuk menjaga entitasnya sendiri. Intinya, merekalah yang beranggapan bahwa merusak komponen DAS, berarti merusak kelanjutan hidup mereka sendiri. Dalam pengelolaan sumber daya air, kegiatan pengairan pertanian dan kelola air bersih yang bertanggung jawab dapat diwujudkan dalam nuansa lokal. Beberapa kajian menampakkan itu:
Di daerah pedalaman Lombok, Nusa Tenggra Timur (NTT), yang memiliki sejarah panjang dalam mengelola sumberdaya air secara adat oleh masyarakat di sana. Hasil pendampingan WWF-Indonesia, project NTT mencatat, bahwa pemanfaatan aturan lokal di daerah itu meminimalkan berbagai konflik yang sebelumnya kerap terjadi.
Kemiskinan dan globalisasi
Pemanfaatan sumber daya air di Konawe Utara, belum terlaksana dengan matang. Ir. Ruksamin, ketua DPRD Konawe Utara mengakui itu. “daerah kami masih seumur jagung, jadi belum bisa berbuat banyak,” katanya. Ini tentu tidak lepas dari tingkat ekonomi masyarakatnya dan sumber pendapatan daerah itu yang masih terbilang kecil.
Kemiskinan sebenarnya sangat dipengaruhi kekuatan modal global. Memberikan utang, bukan jawaban untuk kemiskinan. Utang akan membuat kesenjangan antara negara miskin dengan negara kaya kian menjadi-jadi. Apalagi sebuah negara yang berutang, senantiasa harus menyesuaikan kebijakan di negaranya sesuai dengan pesanan negara yang memberi utang. Negara maju menghidupkan perusahaan transnasional di mana-mana dan seringkali dilakukan dengan mengejar keuntungan lewat eksploitasi alam.
Pada saat yang sama, mereka membantu sejumlah dana untuk menjaga lingkungan hidup sehingga tampak mereka seperti malaikat–sedang negara berkembang tidak dapat menolak dari tuduhan kesalahannya. Kemiskinan menjadi alasan negara maju menuduh negara berkembang telah merusak lingkungan. Padahal, kemiskinan di negara berkembang, termasuk Indonesia, juga akibat proses global. Kemiskinan merupakan akibat dari proses pemiskinan. Kekuatan modal internasional merasionalisasikan kemiskinan lewat order gagasan para intelektual bahwa seolah-olah pemberantasan kemiskinan itu terhambat karena lokalitas. Padahal jelas tidak demikian, karena kemiskinan berkaitan dengan relasi sosial, ekonomi dan budaya yang berakibat pada kemiskinan.
Dalam kenyataan ini, terlihat jelas kebijakan yang paradoks: antara eksploitasi sumberdaya alam untuk mengejar kebutuhan pasar sebagai konsep liberalisasi, dengan kepentingan lingkungan hidup di mana kalangan pro liberalisasi juga mengecam eksploitasi berlebihan yang berakibat terhadap kelestarian lingkungan berkelanjutan–yang mana eksploitasi itu juga sebagai kepentingan liberalisasi, lalu yang terakhir ini memberi bantuan yang berbentuk utang untuk merehab lingkungan yang telah dieksploitasi itu.
Artinya, eksploitasi itu untuk kepentingan liberalisasi, pada saat yang sama kepentingan liberal berlagak sebagai pahlawan dengan memberi utang memperbaiki lingkungan yang rusak karena eksploitasi berlebihan yang juga kepentingan mereka.
Ilah Ladamai, staf ahli gubernur Sultra mengatakan, pemerintah propinsi Sultra sangat peduli dengan isu pembangunan pengelolaan sumber daya air, utamanya DAS. Komitmen itu dituangkan dalam bentuk program Block Grant dana 100 juta per desa. Melalui program ini, diharapkan pembangunan tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat secara langsung. Untuk itu, diperlukan keterlibatan lintas sektoral dan masyarakat lintas kebupaten.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulau Hoga, Bukan Sekadar Pulau

Mencemaskan Degradasi Lingkungan