Izin Tambang Melimpah, Sumber Air Terancam

Selain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sifatnya hanya berlangsung sepanjang perusahaan itu berjalan, penambangan di daerah terbuka membawa dampak lain yakni berkurangnya debit air di wilayah sekitar dan ini akan menimbulkan efek domino lain terhadap warga, satwa liar dan hutan.
Dengan luas wilayah daratan sekitar 248.871 hektar, kabupaten Buton menjadi incaran perusahaan-perusahaan tambang. Aspal Buton menjadi primadona dan dikenal sebagai salahsatu aspal terbaik di dunia karena kemampuannya bertahan dalam kondisi cuaca apa-pun. Pengelolaan aspal telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu namun tak berkembang baik. Kemudian pada tahun 2003, eksplorasi besar-besaran tambang aspal buton dimulai lagi.
Pada tahun 2007, produksi aspal Buton mencapai 21.500 ton. Artinya, bahan tambang ini naik 77,73 %, bila dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya mencapai 12.096,66 ton. Jika diperhatikan perkembangannya, terlihat bahwa produksi aspal semenjak tahun 1997 hingga tahun 2004 me-ngalami fluktuasi, yang mana produksi produksi tertinggi dicapai pada tahun 1997 sebesar 115.348 ton, kemudian menurun drastis pada tahun 2002 sebesar 976,18 ton.
Kabupaten Buton merupakan gugusan pulau besar paling terluar dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara. Luas daratannya 2.488,71 Km2 atau setara dengan 248.871 Ha dan wilayah perairan 21.054 Km2 atau setara dengan 21.054 Ha. Data Sensus Badan Pusat Statistik Tahun 2005 menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Buton saat ini sebanyak 137.436 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 132.664 jiwa dan perempuan 137.436 jiwa.
Sejak pemerintahan orde baru Kabupaten Buton telah di canangkan menjadi wilayah konsesi pertamba-ngan aspal, mangan dan pasir besi yang terkandung dalam perut bumi Buton seluas 40.771 Ha. Pada era otonomi daerah, Pemerintah lalu menetapkan 38 lokasi/Blok konsensi (pertambangan skala besar untuk 16 investor yang telah mengantongi izin Menteri Pertamba-ngan dan Energi maupun Bupati Buton.
Perusahaan itu antara lain ; (1) PT.Sarana Karya, (2) PT.Olah Bumi Elcipta, (3) PT. Yuman Jaya Tama, (4) PT.Summitama Intinusa, (5) PT.Mega Utama Indah, (6) PT.Metrix Elcipta, (7) PT.Putindo Bintech, (8) PT.Karunia Alam Indonesia, (9) PT. Asia Mineral Sa-mudra, (10) PT.Sultra Raya Tambang, (11) PT.Imperial Resources, (12) PT. Karya Mega Buton, (13) PT.Timah Tbk, (14) PT.Bumi Pertiwi Kencana, (15) PT.Titrasantana Indah Permata, (16) PT.Cendana Baja Bahari.
Selain tambang, PT Kurnia, investor lain juga mengajukan izin untuk mengelola 500 hektar lahan menjadi perkebunan sawit di Kecamatan Lasalimu
Sejak 2 tahun terakhir, PT. Kurnia salah satu investor Perkebunan Besar sedang berusaha mendapatkan Izin konsensi seluas 500 Ha untuk perkebuanan Sawit di Kecamatan Lasalimu.
Apa yang kami khawatirkan adalah, investasi tambang dan sawit mengancam hutan konservasi seluas 29.320 ha. Berbagai investasi itu berada pada kawasan cagar Alam Kakinawue, kawasan suaka margasatwa lain. Pe-ngalaman sebelumnya menunjukkan, pengelolaan tambang yang dilakukan PT Timah dan PT Sarana Karya telah merusak hutan-hutan primer di kawasan hutan Lawele dan mengakibatkan degradasi lingkungan.
Efeknya buruk, karena menimbulkan masalah lain pada aspek sosial, ekonomi, dan budaya pada warga yang bermukim di sekitar wilayah pertambangan. Warga mengalihkan hak kepemilikan tanah adat untuk kepentingan investasi, meninggalkan pekerjaan tani, kehilangan pekerjaan dan tak memperoleh hasil dari investasi tersebut. Sebagai lembaga yang konsen dengan pendampingan komunitas-komunitas adat, kami mendorongkan tumbuhnya kemandirian warga untuk mengelola sumberdaya alamnya dan mempertahankan sistem nilai dan kelembagaan adat.
Izin Tambang Melimpah, Sumber Air Terancam
Tapi, Buton tak hanya memiliki aspal. Dalam jurnal geologi Buton yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Kabupaten Buton tahun 2004, tercatat , kabupaten ini tak hanya menyimpang batu aspal, tapi juga mangan, krom, mi-nyak bumi serta nikel yang saat ini izin pengelolaannya mulai keluarkan dan menimbulkan kegusaran penggiat lingkungan karena sebagian besar pengelolaan itu berada pada kawasan konservasi.
“Kami khawatir sekali, bagaimana mengontrol mereka?”kata Hendra Gunawan, Forest Management & GIS Specialist Division Operation Wallacea Trust Baubau. Organisasi tempat Hendra bekerja mengosentrasikan programnya pada kawasan hutan Lambusa-ngo yang dikenal sebagai lumbung air bagi seluruh warga Baubau dan Buton.
Data Opwalt melalui foto citra satelit tahun 2008 menunjukan, sebanyak 15 perusahaan tambang me-ngancam status dan fungsi kawasan hutan lindung, sebab perusahaan tambang dengan berbagai jenis tersebut memiliki lahan konsensi eksplorasi di hutan lin-dung. Kabupaten Buton memiliki Cagar alam Kakinawue seluas 810 hektar serta kawasan konservasi Suaka Marga Satwa seluas 28.510 hektar. Kedua wilayah konservasi ini berdampingan dengan potensi tambang yang luasnya 30 ribu hektar dan kini tengah dilirik banyak investor.
Ini menimbulkan ancaman serius terhadap hilangnya kemampuan kawasan hutan untuk mendukung kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan. Selama ini, hutan terbukti mendukung perekonomian masyarakat sekitar melalui pengambilan hasil hutan seperti buah-buahan, madu, rotan, dan bahan bangunan.
Pertambangan dikenal sebagai usaha yang destruktif dan ekstraktif sejak usaha tersebut dimulai sampai tambang tersebut tutup. Kelola tambang akan mengalihkan fungsikan hutan secara besar-besaran dan bukti di sejumlah propinsi di Indonesia menunjukkan ba-nyaknya kerusakan lingkungan saat proses tambang dilakukan.
Wahid Ode, STP, staf ahli Laboratorium Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) kabupaten Buton, pencemaran tersebut dapat ditimbulkan oleh penggunaan air secara sengaja untuk memisahkan lumpur dari bahan mineral yang digali. Selain itu, dapat pula terjadi akibat erosi, karena banyak penambangan di kabupaten Buton beraktivitas di daerah dataran miring. Ketika tutupan hutan hilang, air dan lumpur mulai mengalir ke bawah akibat hujan dan masuk ke sumber air. Erosi tanah ini bahkan da-pat menimbulkan tanah longsor dan banjir yang fatal.
Sedangkan dampak sosial dari penambangan adalah berkenaan dengan hak atas tanah, karena tanah (hutan) yang luas tempat masyarakat lokal menggantungkan hidupnya akan diambil untuk kegiatan penamba-ngan, dan daerah yang lebih luas di sekitar penamba-ngan, sumber air akan tercemar.
Muhamad Zainal Arifin Ryha, anggota DPRD Komisi C Baubau juga mengkhawatirkan hal sama. Menurutnya, industri tambanga akan membawa dampak langsung pada masyarakat lokal yang hidupnya tergantung pada aliran-aliran sungai, baik untuk kebutuhan pri-mer maupun untuk penunjang kerja (lahan pertanian).
‘Mereka (perusahaan tambang) hanya akan meninggalkan lahan yang terbuka dan ini kerugian bagi warga sekitar,” katanya. Sulit bagi warga memiliki lahan itu kembali karena kerusakan akibat tambang sulit diperbaharui dalam sekejab. Di sejumlah wilayah tambang, Daerah Aliran Sungai (DAS) Wonco yang berhulu di kabupaten Buton akan menjadi ancaman terbesar pasca tambang.
Ada hal berbeda yang dikatakan oleh Muhamad Zainal Arifin Ryha, Anggota Komisi C, DPRD Kota Bau-Bau, perdebatan antara pemerintah dan investor maupun antara pemerintah pusat dan pemerinhta daerah ini muncul ketika tak ada kesepahaman antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah propinsi dalam soal hasil tambang yang masuk di kas daerah.
Ia mengatakan, sudah saatnya meninjau kembali perizinan tambang agar dampak lingkungan bisa di-eliminir. Pemberian izin Kuasa Pertambangan (KP) di Sultra kebanyakan dikeluarkan oleh Bupati atau walikota setempat, yang tidak terkoordinasi baik dengan pemerintah propinsi. “padahal aturannya sangat jelas, soal kebijakan yang menyangkut pengolahan sumber daya alam, harus berkoordinasi dengan pemerintah propinsi, yang selanjutnya meminta iziinya kepada pemerintah pusat,” tutur Zainal.
Intisari UU nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah sangat ideal untuk Indonesia. Namun, pemaknaanya tidak dipahami dengan baik oleh pemerintah daerah saat ini. Pemahaman konsep ini menurut Zainal, masih banyak disalah artikan. Mestinya, tujuan pengolahan SDA dengan konsep otonomi daerah, adalah untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, dengan cara menjamin ketersediaan potensi sumber daya alam tersebut. “Tapi, SDA sektor tambang yang tidak pernah habis? Itu hal yang mustahil,” katanya.
Lalu, seperti apa rupanya keuntu-ngan dari KP ini, hingga para kepala daerah seakan berlomba mengeluarkan izinya? Zainal Arifin, mendeskripsikannya seperti ini; menurutnya jangka waktu pemerintahan kita yang hanya berselang lima tahun saja. Akibatnya, kebijakan yang ditetaskanpun hanya untuk kepen-tingan lima tahun pula. “pemikiran pragmatif seperti yang mesti diubah oleh pemerintah kita saat ini,” ka-tanya.
Radjlun, SH, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Buton, mengatakan pemerintah tak akan beri izin bila investor masuk dalam kawasan tersebut. Masalahnya izin-izin bagi pengelolaan tambang biasa-nya tidak dipahami investor, akibatnya berdampak pada penurunan nilai bagi hasil. Ujung-ujungnya, tetap dae-rah yang rugi.
Mencemaskan Dampak Tambang
Sekolah Rakyat Butuni (Serabut), organisasi yang melakukan pendampingan pada warga sekitar mendata, sebanyak 38 blok konsensi pertambangan baik KP maupun KK telah ditetapkan oleh pemerintah orde baru. Konsensi tambang itu memegang izin di 40.771 hektar lahan dengan target produksi berbeda beda, yah aspal mangan, pasir besi dan nikel.
Pembagian kue tambang itu dikuasai oleh 16 perusahaan antara lain PT. Sarana Karya (SAKA), PT. Yuman Jaya Tama, PT. Summitama Intinusa, PT. Mega Utama Indah, PT. PT. Metrix Elicipta, PT. Putindo Bintech, PT. Karunia Alam Indonesia, PT. Asia Mineral Samudra, PT. Sultra Raya Tambang, PT. Imperial Resources, PT. Karya Mega Buton, PT. Cendana Baja Bahari, PT. Timah Tbk, PT. Bumi Pertiwi Kencana dan PT. Titra Santana. Dan sejak dua tahun terakhir, PT. Kurnia sedang mengejar izin untuk 500 hektar lahan perkebunan kelapa sawit di kecamatan Lasalimu.
Menurut Radjlun dari target PAD 1 Milyar di sektor pertambangan aspal dan nikel, tahun 2008 ini, Pemkab Buton telah berhasil mengumpulkan 1,4 Milyar. Namun dite-ngah keberhasilan pemerintah dalam me-ngumpulkan PAD dari sektor tambang, justru banyak menimbulkan keresahan sosial di lingkungan masyarakat itu sendiri. Semisal, harga tanah masyarakat di desa Sandang Panga yang dipakai untuk lahan pertambangan hanya diharga 3 ribu rupiah per meter, sedangkan tanamannya 50 ribu per pohon bila telah berusia produktif minimal 3 tahun.
Selain itu, kontribusi perusahaan tambang terhadap masyarakat, masih dipertanyakan oleh masyarakat setempat. Menurut kete-rangan La Toga, tokoh masyarakat desa Sandang Pangan kecamatan Sampolawa, PT. Olah Bumi Ely Cipta (OBEC), salah satu perusahaan tambang aspal yang sejak tahun 2003 lalu melakukan pengolahan batu aspal di daerahnya tidak punya kontribusi apapun bagi masyarakat setempat. “walau tanpa perusahaan, kami masih tetap cukup makan,” kata La Toga, tokoh masyarakat desa Sandang Pangan.
Dia bercerita, kampung ini awalnya bernama desa Rongi. Sebuah desa penghasil jagung, tembakau, ubi-ubian, kacang, kelapa dan tanaman palawija lainnya. Pada tahun 1964, terjadi kekeringan di kabupaten Buton, akibatnya banyak penduduk yang kelaparan, karena kesulitan air untuk bercocok tanam. Namun, karena kebiasaan penduduk daerah ini yang menyimpan bahan makanan, sehingga warga setempat tidak sulit mengatasi musim kelaparan itu. “Lalu, masyrakat Buton berbondong-bondong datang membeli bahan makan di desa ini, karena persediaan kami sangat banyak” kenang-nya. Sejak saat itu, pemerintah kabupaten Buton menamai kampung ini desa Sandang Pa-ngan, artinya desa lumbung makanan.
Saat ini, di desa yang mayoritas petani ini, sekitar 1879 jiwa menghadapi ancaman kehilangan mata pencahariannya. Beberapa orang warga sudah mulai menjual tanah perkebunan mereka kepada perusahaan untuk dijadikan lahan pertambangan. Di lain sisi, pertumbuhan kepadatan penduduk desa ini semakin meningkat, sementara tanah tempat tinggal mereka semakin sempit. “sasaranya kami pasti merambah hutan lindung, tapi itu dilarang denga pemerintah”kata La Toga. Kondisi di desa yang ada saat ini, masyarakat mulai terdesak akan lahan tempat tinggal dan laha perkebunan yang semakin sempit.
Menjadi Pekerja di Rumah Sendiri
Dengan penuh semangat, Ramiludin (35 th), memukulkan martil di atas bongkahan batu aspal. Dia merupakan satu dari tujuh orang yang menjadi pemecah batu aspal di PT Olah Bumi Elcipta (OBEC) ini. Dengan upah 10 ribu rupiah perkubik dari hasil pecah batu aspal, status mereka pun tak ubahnya seperti pekerja di rumah sendiri.
Ramiludin menjual lahan tambangnya pada pengusaha PT OBEC de-ngan harapan bisa memperbaiki taraf hidupnya. Pekerjaan itu dilakukan secara manual dengan bermodalkan martil. Perusahaan ini memiliki konsensi tambang seluas 80 hektar, yang dulunya adalah lahan perkebunan kopi, jambu mete dan kacang tanah milik warga Sandang Pangan yang dibeli Rp 3000 permeter. Mereka juga membayar Rp 50 ribu bagi pohon yang telah tiga kali produksi.
Tentu anda tidak asing dengan nama aspal. Bahan galian dengan predikat tambang kelas A ini terendap di balik bukit kapur yang bercampur pasir gunung. Saat perusahaan masuk, warga dibayangi keuntungan dengan menjadi pekerja di dalamnya. “Kami sadar kalau tanah desa ini sangat kaya,” kata La Toga, tokoh masyarakat desa Sandang Pa-ngan.
Ironisnya, lima tahun belakangan Ramiludin bersama para pekerja lainnya tak ikut menikmati hasil dari tambang aspal itu. Persoalan melilit, mulai dari gaji buruh rendah hingga hak kesehatan. “Tapi, tak ada pilihan kerja lain, tanah kami sudah terjual untuk lahan tambang,” ujar Ramiludin.
“Jaminan keselamatan kami juga diabaikan,” tutur La Gono, rekannya. Bisa jadi karena status mereka adalah buruh tak tetap. Konsekwesinya adalah bekerja tanpa me-ngenal hari libur dan tanpa tunjangan apa-pun.
Bagaimana ini terjadi? “Padahal, sebelum beroperasi, perusahaan itu berjanji membuatkan pasar desa, sekolah dan jalan raya di aspal, tapi tak ada bukti,” kata La Suruma, warga lain.
Masalah sama terjadi di desa Kombewaha, kecamatan Siotapina. Di desa ini, terdapat lahan eks eksplorasi PT. Malindo Bara Murni (MBM). Informasi dari Laode Idam, tokoh masyarakat desa Kom-bewaha menyebutkan, perusahaan tambang mangan tersebut terpaksa meninggalkan lokasi penggaliannya karena diusir oleh warga setempat. Alasannya, karena warga di desa ini tidak mendapatkan manfaat positif dengan keberadaan perusahaan tersebut.
Saat ini, beberapa warga mengambil batuan mangan dari lahan bekas eks-plorasi, kemudian menjualnya ke perusahaan MBM. “Harganya Rp 4000 rupiah per karung,” kata La Maida. Petani di desa Kombewaha ini, menggali batu mangan di lahan bekas eksplorasi TP. MBM, lalu dijualnya keperusahaan itu dengan harga 4.000 rupaih per karung. Memikul batu mangan dalam karung seukuran 25 kg, sambil menuruni bukit-bukit terjal, sudah menjadi resiko bagi petani setempat demi mendapatkan upah dengan cara instant. Menurut Laode Idam, sampai saat PT. MBM tidak memberikan kontribusi posotif bagi warganya.
Satu yang mesti menjadi pelajaran bagi pemerintah adalah, tambang tidak pernah mensejahterakan masyarakat. Berkaca dari beberapa daerah di Sultra, soal konstribusi bagi masyarakat serta ketenagakerjaan selalu menjadi masalah yang tidak pernah tuntas memberikan solusi terbaik bagi masyarakat setempat. Dengan mengedepankan sektor pertambangan sebagai penghasil PAD, justru menurunkan bahkan menghilangkan status dan fungsi potensi sumber daya alam lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulau Hoga, Bukan Sekadar Pulau

Mencemaskan Degradasi Lingkungan